Sampah-sampah yang terbawa arus banjir akibat parit meluap terlihat berserakan di jalanan. Seperti biasa, setelah hujan mereda dan banjir mengering, warga desa membersihkan jalan itu. Aku menyusuri jalan untuk mengambil sampah yang berserakan. Aku melihat sebuah majalah tergeletak di tengah jalan. Segera aku mengambil dan membukanya dengan hati-hati karena kertasnya basah. Lalu ku panggil Galang, sahabatku yang juga sedang memunguti sampah.
“Galang!” Teriakku.
Galang pun menghampiriku.
“Akan kau apakan sampah itu?” Galang bertanya padaku.
“Ini bukan sampah, lihat ini!” Aku menunjuk salah satu halaman dari majalah itu.
“Apa?” Perhatian Galang pun ikut tertuju pada majalah itu.
“Suatu hari pasti aku bisa sesukses orang ini” Aku tersenyum.
“Yasudah sekarang cepat bersihkan jalanan ini supaya tidak ada sampah yang menghalangi jalanmu menuju sukses seperti orang itu” Galang mulai memunguti sampah lagi.
Aku tersenyum mendengar perkataannya. Galang adalah sahabatku sejak SMA, kini kami sudah lulus dan sedang menunggu ujian masuk universitas negeri. Galang sangat pintar sehingga aku sering meminta untuk dapat belajar bersamanya.
Terdengar sayup-sayup suara adzan maghrib. Ayah, aku, dan Resti shalat maghrib berjamaah, mengaji bersama, dan shalat isya berjamaah. Setelah shalat isya, aku pergi ke kamar, Resti menonton TV dan Ayah menuju dapur untuk memasak makan malam kami. Ibu sudah meninggal dunia ketika melahirkan Resti.
Aku melihat majalah yang sengaja ku bawa pulang tadi di atas kasur. Aku mulai berpikir agar majalah ini bisa cepat kering dan dapat ku baca, lalu ku ingat kipas yang terbuat dari anyaman bilik tergantung di atas rak piring dapur dan segera saja ku ambil. Aku buka halaman yang berisi artikel itu dan mulai menggerakkan kipas di atasnya.
Setelah kering aku mulai membacanya, tertera judulnya dengan huruf yang cukup besar dan berwarna merah “RAHASIA SUKSES TIO WARDHANA”. Membaca namanya saja sudah membakar semangatku untuk menjadi seperti dia, maka aku lanjutkan membacanya. Aku bertekad mengikuti jejak Tio, ku baca dalam artikel itu dia mengenyam pendidikan hingga S2 di ITB maka aku pun bertekad untuk dapat kuliah disana.
Semenjak saat itu aku bersemangat sekali belajar di rumah Galang dan tetap membantu Ayah bekerja di kebun. Suatu sore, seperti biasa aku datang ke rumah Galang untuk belajar bersama.
“Galang, nanti kamu daftar ke universitas mana?” Aku bertanya sambil mengerjakan soal-soal latihan.
“Saya tidak akan melanjutkan pendidikan dan menjadi petani saja Zul” Galang berkata dengan lirih.
“Kenapa Galang? Kamu ini pintar pasti masuk ke universitas yang bagus” Aku kaget mendengar perkataan Galang.
“Keluarga saya tidak bisa membiayai saya kuliah”
“Kita bisa mencari beasiswa” Aku mencoba meyakinkannya namun tidak berhasil karena Galang hanya diam saja.
Aku benar-benar miris membayangkan negeri ini yang kaya di mata orang ternyata miskin. Bayangkan saja Galang yang mempunyai kelebihan dalam akademik tidak bisa melanjutkan pendidikannya dan menjadi petani karena faktor ekonomi, padahal jika orang-orang seperti Galang dapat melanjutkan pendidikan dan memiliki banyak ilmu pengetahuan yang bermanfaat pasti negeri ini dapat menjadi lebih baik.
Setiap pagi aku membantu ayah berkebun. Matahari hari ini sangat terik membuatku mulai kelelahan dan beristirahat duduk di pinggir kebun. Ku lihat semua pekerja tak kenal lelah membanting tulang untuk menghidupi keluarganya. Pemandangan ini membuat pikiranku melayang jauh pada pekerja yang menamai dirinya sebagai wakil rakyat. Muncul pertanyaan dalam benakku, apakah mereka pantas menyandang nama wakil rakyat? Apakah mereka tahu dan merasakan apa yang dirasakan oleh warga desa ini? Apakah penghasilan mereka sebanding dengan pengasilan kami? Jelas saja penghasilan mereka tidak sebanding dengan penghasilan warga desa ini yang telah bekerja dengan sangat keras tapi untuk membiayai anaknya sekolah saja tidak mampu. Ku layangkan pikiranku pada hukum negeri saat ini yang seperti pisau, tajam ke bawah dan tumpul ke atas ketika ku ingat pemuda pencuri sandal dihukum 5 tahun penjara sedangkan koruptor dapat hidup bebas. Lamunanku pecah ketika Ayah menghampiriku dan duduk di sampingku.
“Capek Zul?” Tanya Ayah.
“Iya”
“Tapi kamu tidak boleh capek untuk meraih masa depanmu” Ayah menatapku.
“Zul bisa tidak ya masuk ITB?” Aku menatapnya juga.
“Yang penting bukan masalah kamu masuk atau tidak, sekarang yang harus kamu lakukan yaitu kamu bersungguh-sungguh berusaha untuk mewujudkan mimpimu, karena usaha yang kamu lakukan untuk mewujudkan mimpimu itu lebih penting dan lebih berharga daripada ketika kamu mencapai mimpi itu, yakinlah pada prinsip itu Zul” Ayah menepuk punggungku.
“Iya” Aku mengangguk dan tersenyum padanya.
Hari ini aku akan menghadapi ujian masuk universitas negeri. Aku mendaftar di ITB dan tidak melirik universitas negeri lainnya, keputusanku sudah bulat ketika Ayah menyarankan aku untuk mendaftar ke universitas negeri lainnya. Aku benar-benar ingin mengikuti jejak Tio. Sebenarnya aku tidak terlalu yakin dengan jawabanku namun aku tetap optimis untuk hasilnya nanti.
Setelah satu bulan tibalah hari pengumuman hasil ujian itu. Aku pergi ke warnet dan mengetikkan alamat website yang harus ku buka di komputer itu. Ku klik tanda masuk setelah mengetikan nama dan nomor peserta ujianku. Kemudian muncul kalimat “MAAF ANDA TIDAK LULUS”. Aku mencoba memasukkan nama dan nomor pesertaku berkali-kali namun tetap saja kalimat itu yang muncul. Akhirnya aku menyerah dan memutuskan untuk pulang.
Sesampainya di rumah, aku berlutut di ambang pintu ku tutup wajahku dengan kedua telapak tanganku. Aku malu terhadap Ayah, Resti, dan Galang yang sudah menungguku.
“Resti, Ayah, Galang, maafkan Zul. Zul tidak masuk ke ITB. Zul gagal Yah, Zul gagal!” Aku mencoba menahan kekesalan dan rasa bersalahku.
“Sudah Zul tak apa-apa, Ayah tidak marah kepadamu” Ayah dan Galang kini berada di sampingku.
“Iya Zul, saya juga tidak kecewa kepadamu” Galang mencoba membuat aku tenang.
Mereka begitu menyayangiku tetapi mengapa aku tidak bisa membuat mereka bahagia. Kalau saja aku pintar seperti Galang, aku pasti bisa masuk ITB. Namun aku hanyalah aku, bukan orang lain, bukan Galang yang pintar, bukan Tio yang sukses, bukan juga Ayah yang sangat tegar. Aku hanyalah Zulkifli yang lemah. Mulai saat itu aku belum siap berbicara dengan siapapun termasuk Ayah.
Saat makan malam, suasana berbeda sekali dari biasanya kini semuanya diam hingga sepi itu pecah oleh suara Ayah.
“Zul, kenapa kamu tidak mau bicara pada Ayah?” Ayah memulai perbincangan.
Cukup lama aku mempersiapkan kata-kataku.
“Zul malu. Zul gagal masuk ITB dan hanya bisa membuat semua orang kecewa” Kini aku berhenti makan.
“Gagal masuk ITB bukan berarti kamu mengecewakan semua orang”
“Seharusnya Zul mengikuti jejak Galang tidak mengikuti ujian itu. Percuma saja Ayah menyekolahkan Zul jika ditakdirkan menjadi petani kebun seperti semua warga desa ini”
“Kamu tidak boleh bicara seperti itu Zul, itu menyalahkan takdir namanya. Kamu tidak mengecewakan Ayah, Resti, dan Galang. Kamu hanya kecewa terhadap dirimu sendiri dan itu tidak baik” Ayah menatapku.
“Zul tidak bisa mewujudkan harapan untuk menjadi pengusaha sukses” Aku mulai meneteskan air mata lagi.
“Siapa bilang? Zul itu pengusaha sukses. Semua orang itu pengusaha sukses. Ayah, Resti, Galang, semuanya pengusaha sukses karena kita selalu berusaha untuk mencapai harapan dan cita-cita kita. Apalagi kamu Zul, Ayah tahu benar usahamu untuk mewujudkan cita-citamu itu. Kamu itu pengusaha sukses Zul, apa kamu tidak menyadari akan hal itu?”
Aku hanya bisa terdiam mendengar perkataan Ayah.
“Sukses bukan diukur dengan kekayaan dan harta benda Zul, kesuksesan itu dilihat dari bagaimana kita berusaha dan dapat berguna untuk orang banyak” Ayah melanjutkan. Setelah itu tidak terdengar suara apapun lagi, semuanya diam dan melanjutkan makan malam.
Di dalam kamar aku merenungi perkataan Ayah. “Semua orang itu pengusaha sukses” kalimat itu terngiang-ngiang dalam pikiranku. Kemudian aku teringat pada perkataan Ayah tempo hari. “Yang terpenting adalah usaha bukan hasilnya”. Usaha dan pengusaha. Aku berkali-kali mengulang kata-kata itu, kemudian aku berpikir bahwa “pengusaha” itu hanyalah turunan dari kata dasarnya yaitu “usaha”, hanya saja dilengkapi dengan imbuhan Peng- “Peng + Usaha = Pengusaha”. Tentu saja itu benar, pengusaha memang berasal dari kata dasar usaha. Hingga akhirnya aku menyadari bahwa aku sudah menjadi pengusaha sukses selama ini karena aku telah berusaha untuk mewujudkan mimpiku meskipun mimpiku tidak benar-benar terwujud.
Aku bersiap membantu Ayah bekerja di kebun hari ini. Di jalan aku memulai perbincangan.
“Ayah, terimakasih banyak karena telah menyadarkan Zul”
“Menyadarkan apa?” Tanya Ayah.
“Ayah benar mengenai perkataan Ayah bahwa semua orang itu adalah pengusaha sukses” Aku menjelaskan.
“Oh, memang benar Zul dan kamu salah satunya” Ayah tersenyum dan menepuk pundakku
“Ayah kenapa dapat tegar sekali menghadapi hidup ini?” Aku bertanya pada Ayah.
“Karena Ayah yakin dibalik semua cobaan akan selalu ada hikmah dan selalu ada jalan dari Yang Maha Kuasa untuk menjalani semuanya, kamu juga kan?”
“Iya, Zul yakin”
“Kamu juga belum membuang harapan kamu untuk menjadi seperti Tio kan?” Ayah bertanya padaku.
“Belum, Zul akan terus berusaha” Aku berkata dengan percaya diri.
“Bagus Zul!” Ayah menepuk punggungku.
Semua orang adalah pengusaha sukses bukan dilihat dari pekerjaan, harta, atau penampilannya melainkan dari usahanya untuk mencapai cita-citanya. Sebagai pemuda Indonesia masa depan, aku akan terus menjadi pengusaha yang selalu berusaha untuk mencapai dan mewujudakan harapanku yang kini tengah berkecamuk dalam pikiranku. Akulah pengusaha muda, yang akan berusaha untuk membuat banjir tidak melanda desanya lagi, membuat perekonomian desanya menjadi lebih baik, membuktikan bahwa kami memang hidup di negara yang kaya raya, menegakkan keadilan hukum di negeri ini, membahagiakan semua orang, dan selalu berusaha mewujudkan mimpi dan cita-citanya.